Biografi B.J Habibie,
Dimasa kecil, Habibie
telah menunjukkan kecerdasan dan semangat tinggi pada ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya Fisika. Selama enam bulan, ia kuliah di Teknik Mesin
Institut Teknologi Bandung (ITB), dan dilanjutkan ke Rhenisch Wesfalische
Tehnische Hochscule – Jerman pada 1955. Dengan dibiayai oleh ibunya, R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, Habibie muda
menghabiskan 10 tahun untuk menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di
Aachen-Jerman.
Berbeda dengan
rata-rata mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di luar negeri, kuliah
Habibie (terutama S-1 dan S-2) dibiayai langsung oleh Ibunya yang melakukan
usaha catering dan indekost di Bandung setelah ditinggal pergi suaminya (ayah
Habibie). Habibie mengeluti bidang Desain dan Konstruksi Pesawat di Fakultas
Teknik Mesin. Selama lima tahun studi di Jerman akhirnya Habibie memperoleh
gelar Dilpom-Ingenenieur atau diploma teknik (catatan : diploma teknik di
Jerman umumnya disetarakan dengan gelar Master atau S-2 di negara lain) dengan
predikat summa cum laude.
Pak Habibie melanjutkan
program doktoral setelah menikahi teman SMA-nya, Ibu Hasri Ainun Besari pada
tahun 1962. Bersama dengan istrinya tinggal di Jerman, Habibie harus bekerja
untuk membiayai biaya kuliah sekaligus biaya rumah tangganya. Habibie mendalami
bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang. Tahun 1965, Habibie menyelesaikan
studi S-3 nya dan mendapat gelar Doktor Ingenieur (Doktor Teknik) dengan indeks prestasi summa cum laude.
Karir
di Industri
Selama menjadi
mahasiswa tingkat doktoral, BJ Habibie sudah mulai bekerja untuk menghidupi
keluarganya dan biaya studinya. Setelah lulus, BJ Habibie bekerja di
Messerschmitt-Bölkow-Blohm atau MBB
Hamburg (1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis
Struktrur Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan
Teknologi pada industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB
(1969-1973). Atas kinerja dan kebriliannya, 4 tahun kemudian, ia dipercaya
sebagai Vice President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978
serta menjadi Penasihast Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978
). Dialah menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor
dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini.
Sebelum memasuki usia
40 tahun, karir Habibie sudah sangat cemerlang, terutama dalam desain dan
konstruksi pesawat terbang. Habibie menjadi “permata” di negeri Jerman dan
iapun mendapat “kedudukan terhormat”, baik secara materi maupun intelektualitas
oleh orang Jerman. Selama bekerja di MBB Jerman, Habibie menyumbang berbagai
hasil penelitian dan sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan dan teknologi
dibidang Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa rumusan teorinya
dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“, “Habibie Theorem”
dan “Habibie Method“.
Kembali
ke Indonesia
Pada tahun 1968, BJ
Habibie telah mengundang sejumlah insinyur untuk bekerja di industri pesawat
terbang Jerman. Sekitar 40 insinyur Indonesia akhirnya dapat bekerja di MBB
atas rekomendasi Pak Habibie. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan skill dan
pengalaman (SDM) insinyur Indonesia untuk suatu saat bisa kembali ke Indonesia
dan membuat produk industri dirgantara (dan kemudian maritim dan darat). Dan
ketika (Alm) Presiden Soeharto mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk menemui
seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia, BJ Habibie langsung bersedia dan
melepaskan jabatan, posisi dan prestise tinggi di Jerman. Hal ini dilakukan BJ
Habibie demi memberi sumbangsih ilmu dan teknologi pada bangsa ini. Pada 1974
di usia 38 tahun, BJ Habibie pulang ke tanah air. Iapun diangkat menjadi penasihat pemerintah
(langsung dibawah Presiden) di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi
tinggi hingga tahun 1978. Meskipun demikian dari tahun 1974-1978, Habibie masih
sering pulang pergi ke Jerman karena masih menjabat sebagai Vice Presiden dan
Direktur Teknologi di MBB.
Habibie mulai
benar-benar fokus setelah ia melepaskan jabatan tingginya di Perusahaan Pesawat
Jerman MBB pada 1978. Dan sejak itu, dari tahun 1978 hingga 1997, ia diangkat
menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus merangkap
sebagai Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Disamping itu
Habibie juga diangkat sebagai Ketua Dewan Riset Nasional dan berbagai jabatan
lainnya.
Ketika menjadi
Menristek, Habibie mengimplementasikan visinya yakni membawa Indonesia menjadi
negara industri berteknologi tinggi. Ia mendorong adanya lompatan dalam
strategi pembangunan yakni melompat dari agraris langsung menuju negara
industri maju. Visinya yang langsung membawa Indonesia menjadi negara Industri
mendapat pertentangan dari berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri yang
menghendaki pembangunan secara bertahap yang dimulai dari fokus investasi di
bidang pertanian. Namun, Habibie memiliki keyakinan kokoh akan visinya, dan ada
satu “quote” yang terkenal dari Habibie yakni :
“I have some figures
which compare the cost of one kilo of airplane compared to one kilo of rice.
One kilo of airplane costs thirty thousand US dollars and one kilo of rice is
seven cents. And if you want to pay for your one kilo of high-tech products with
a kilo of rice, I don’t think we have enough.” (Sumber : BBC: BJ Habibie
Profile -1998.)
Kalimat diatas
merupakan senjata Habibie untuk berdebat dengan lawan politiknya. Habibie ingin
menjelaskan mengapa industri berteknologi itu sangat penting. Dan ia membandingkan
harga produk dari industri high-tech (teknologi tinggi) dengan hasil pertanian.
Ia menunjukkan data bahwa harga 1 kg pesawat terbang adalah USD 30.000 dan 1 kg
beras adalah 7 sen (USD 0,07). Artinya 1 kg pesawat terbang hampir setara
dengan 450 ton beras. Jadi dengan membuat 1 buah pesawat dengan massa 10 ton,
maka akan diperoleh beras 4,5 juta ton beras.
Pola pikir Pak Habibie
disambut dengan baik oleh Pak Harto.Pres. Soeharto pun bersedia menggangarkan
dana ekstra dari APBN untuk pengembangan proyek teknologi Habibie. Dan pada
tahun 1989, Suharto memberikan “kekuasan” lebih pada Habibie dengan memberikan
kepercayaan Habibie untuk memimpin industri-industri strategis seperti Pindad,
PAL, dan PT IPTN.
Habibie
menjadi Presiden
Secara materi, Habibie
sudah sangat mapan ketika ia bekerja di perusahaan MBB Jerman. Selain mapan,
Habibie memiliki jabatan yang sangat strategis yakni Vice President sekaligus
Senior Advicer di perusahaan high-tech Jerman. Sehingga Habibie terjun ke
pemerintahan bukan karena mencari uang ataupun kekuasaan semata, tapi lebih
pada perasaan “terima kasih” kepada negara dan bangsa Indonesia dan juga kepada
kedua orang tuanya. Sikap serupapun ditunjukkan oleh Kwik Kian Gie, yakni
setelah menjadi orang kaya dan makmur dahulu, lalu Kwik pensiun dari bisnisnya
dan baru terjun ke dunia politik. Bukan sebaliknya, yang banyak dilakukan oleh
para politisi saat ini yang menjadi
politisi demi mencari kekayaan/popularitas sehingga tidak heran praktik korupsi
menjamur.
Tiga tahun setelah
kepulangan ke Indonesia, Habibie (usia 41 tahun) mendapat gelar Profesor Teknik
dari ITB. Selama 20 tahun menjadi Menristek, akhirnya pada tanggal 11 Maret
1998, Habibie terpilih sebagai Wakil Presiden RI ke-7 melalui Sidang Umum MPR.
Di masa itulah krisis ekonomi (krismon) melanda kawasan Asia termasuk
Indonesia. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar AS menjadi
Rp 12.000-an per dolar. Utang luar negeri
jatuh tempo sehinga membengkak akibat depresiasi rupiah. Hal ini
diperbarah oleh perbankan swasta yang mengalami kesulitan likuiditas. Inflasi
meroket diatas 50%, dan pengangguran mulai terjadi dimana-mana.
Pada saat bersamaan,
kebencian masyarakat memuncak dengan sistem orde baru yang sarat Korupsi,
Kolusi, Nepotisme yang dilakukan oleh kroni-kroni Soeharto (pejabat, politisi,
konglomerat). Selain KKN, pemerintahan Soeharto tergolong otoriter, yang menangkap aktivis dan mahasiswa vokal.
Dipicu penembakan 4
orang mahasiswa (Tragedi Trisakti) pada 12 Mei 1998, meletuslah kemarahan
masyarakat terutama kalangan aktivis dan mahasiswa pada pemerintah Orba.
Pergerakan mahasiswa, aktivis, dan segenap masyarakat pada 12-14 Mei 1998
menjadi momentum pergantian rezim Orde Baru pimpinan Pak Hato. Dan pada 21 Mei
1998, Presiden Soeharto terpaksa mundur dari jabatan Presiden yang dipegangnya
selama lebih kurang 32 tahun. Selama 32 tahun itulah, pemerintahan otoriter dan
sarat KKN tumbuh sumbur. Selama 32 tahun itu pula, banyak kebenaran yang
dibungkam. Mulai dari pergantian Pemerintah Soekarno (dan pengasingan Pres
Soekarno), G30S-PKI, Supersemar, hingga dugaan konspirasi Soeharto dengan pihak
Amerika dan sekutunya yang mengeruk sumber kekayaan alam oleh kaum-kaum
kapitalis dibawah bendera korpotokrasi (termasuk CIA, Bank Duni, IMF dan
konglomerasi).
Soeharto mundur, maka
Wakilnya yakni BJ Habibie pun diangkat menjadi Presiden RI ke-3 berdasarkan
pasal 8 UUD 1945. Namun, masa jabatannya sebagai presiden hanya bertahan selama
512 hari. Meski sangat singkat, kepemimpinan Presiden Habibie mampu membawa bangsa
Indonesia dari jurang kehancuran akibat krisis. Presiden Habibie berhasil
memimpin negara keluar dari dalam keadaan ultra-krisis, melaksanankan transisi
dari negara otorian menjadi demokrasi. Sukses melaksanakan pemilu 1999 dengan
multi parti (48 partai), sukses membawa perubahan signifikan pada stabilitas,
demokratisasi dan reformasi di Indonesia.
Habibie merupakan
presiden RI pertama yang menerima banyak penghargaan terutama di bidang IPTEK
baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Jasa-jasanya dalam bidang teknologi
pesawat terbang mengantarkan beliau mendapat gelar Doktor Kehormatan (Doctor of
Honoris Causa) dari berbagaai Universitas terkemuka dunia, antara lain
Cranfield Institute of Technology dan Chungbuk University.
Daftar
Pustaka
A. Makmur
Makka. A True Life of Habibie. Pustaka Iman : Bandung (recommended)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar